Kehadiran sang buah hati melengkapi kebahagiaan rumah tangga Maya Rumantir (41) dan suaminya, Takala Gerald Manumpak Hutasoit. "Ini anak mukjizat," tutur Maya, Direktur Lembaga Pendidikan Mayagita, yang juga dikenal sebagai artis penyanyi.
Semula, ia disarankan dokter untuk tidak memiliki anak sebab kelahiran pada sang ibu yang berusia kepala empat dianggap berisiko tinggi terhadap keselamatan dan kesehatan ibu dan bayinya. "Kami terus-menerus berdoa, dan ternyata dikabulkan," kata Maya. Ia menikah dengan suaminya pada April 2004.
Ia akhirnya melahirkan seorang anak perempuan dengan operasi Caesar di Rumah Sakit Bunda pada 30 Agustus 2005. Anak yang lahir dengan berat 3,8 kilogram dan panjang 52 sentimeter itu diberi nama Kristamya Kiara Oliveralda Tiurnauli Hutasoit, yang artinya cahaya terang yang cantik.
Untuk mengoptimalkan tumbuh kembang si kecil, Maya berupaya memberikan air susu ibu (ASI) secara eksklusif. Kendati demikian, ia masih diliputi rasa cemas atas perkembangan kesehatan Kiara lantaran makin banyak jenis penyakit yang muncul dewasa ini. "Saya ingin yang terbaik untuk Kiara," tutur perempuan yang berlesung pipi itu.
Oleh karena itu, ketika datang tawaran dari pihak rumah sakit untuk menyimpan darah tali pusat anaknya, Maya dan suaminya tak butuh waktu lama untuk menyetujuinya. "Tawaran itu datang menjelang saya melahirkan. Begitu diberi tahu sekilas manfaatnya, saya segera mengiyakannya meski ini sesuatu yang baru bagi saya," kata Maya.
Proses pengambilan darah tali pusat itu pun berlangsung singkat. Begitu lahir, tali pusat diikat dan diambil darahnya sebanyak empat tabung dengan menggunakan suntikan. Darah tali pusat itu lalu dikirim ke bank darah tali pusat yang berlokasi di Singapura. Biaya pengambilan darah tali pusat itu sekitar Rp 11 juta dan biaya penyimpanannya di atas Rp 1 juta per tahun.
"Menurut dokter, darah tali pusat mengandung banyak stem cells yang bisa digunakan untuk mengobati berbagai penyakit kelainan darah dan penyakit lain pada bayi maupun keluarganya, " tutur Maya. Penerapan teknologi sel induk ini memberikan secercah harapan bagi Kiara dan keluarganya untuk terhindar dari berbagai jenis penyakit.
Keajaiban sel induk yang berasal dari darah tali pusat telah dirasakan banyak orang di berbagai belahan dunia. Salah satunya adalah Oh Tze Sun (6), bocah asal Singapura yang divonis menderita talasemia mayor sejak berusia enam bulan. Pada Juli 2001, Oh diberi suntikan darah tali pusat dari bocah yang tak berhubungan kekerabatan dengannya. Kini, ia tidak perlu disuntik setiap hari dan mendapat transfusi darah setiap tiga minggu.
Nyawa Ryan Foo juga diselamatkan oleh darah tali pusat adik perempuannya. Pada tahun 2001 ia dinyatakan dokter hanya memiliki 10 persen harapan hidup jika tidak menjalani pencangkokan sumsum tulang belakang karena menderita leukemia. Sayangnya, kedua orangtuanya tidak ada yang cocok menjadi donor. Keluarga Foo belakangan mendengar darah tali pusat bermanfaat untuk menyembuhkan penyakit. Mereka lalu memutuskan memiliki anak kedua agar dapat menyelamatkan Ryan.
"Darah tali pusat Rachel ternyata seratus persen cocok untuk Ryan," kata dr Tan Ah Moy dari Rumah Sakit Ibu dan Anak kepada Good Housekeeping. Akhirnya, 18 bulan kemudian Ryan dinyatakan bebas dari leukemia dan kini telah bersekolah di taman kanak-kanak.
Terapi sel induk
Kehamilan dan kelahiran merupakan proses alami yang penuh keajaiban. Selama masa kehamilan, tali pusat merupakan satu-satunya penyambung kehidupan antara sang ibu dan bayi. Selama ini ari-ari dan tali pusat pada bayi yang baru lahir dibuang atau dikubur. Ada juga yang menyimpannya karena ada mitos tali pusat bisa membantu kesembuhan anak yang sakit.
Ternyata, pada tahun 1963, peneliti di dunia kedokteran menemukan sel induk dari tali pusat dapat dipakai si bayi dan keluarganya untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Sebab, darah di dalam ari-ari dan tali pusat mengandung berjuta-juta sel induk pembentuk darah yang sejenis dengan sel induk yang ditemukan di dalam sumsum tulang.
Pencangkokan darah tali pusat pertama kali dilakukan pada seorang anak penderita anemia fanconi di Paris pada tahun 1988. Keberhasilan pencangkokan itu membuka pandangan baru dalam pemanfaatan darah tali pusat yang sebelumnya tidak berguna. Setelah diteliti lebih lanjut, banyak keuntungan yang ditawarkan dibandingkan dengan transplantasi sumsum tulang yang semula jadi primadona.
Sel induk sumsum tulang dan darah tali pusat sejauh ini telah berhasil digunakan untuk mengobati berbagai penyakit kelainan darah. Hingga kini sedikitnya 3.000 pencangkokan darah tali pusat telah dilakukan. Lebih dari 72 penyakit yang terbukti dapat diobati dengan pencangkokan sel induk ini, di antaranya leukemia, keropos tulang (osteoporosis) , dan kanker payudara.
Kebanyakan dari penyakit yang disembuhkan adalah penyakit akut, seperti leukemia akut dan kronis, anemia fanconi, anemia aplastic, dan penyakit auto immune. "Di masa datang, sel induk dipercaya dapat digunakan untuk memperbaiki organ tubuh seperti jantung dan pankreas, serta membantu pengobatan stroke, alzheimer, parkinson," kata Dr Sunny Tan Chiok Ling PhD dari Cygenics Singapura.
"Pemakaian darah perifer atau tali pusat (umbilical cord blood stem cell) yang mengandung banyak sel stem dewasa mempunyai kemampuan priliferasi lebih baik dibandingkan sel stem sumsum tulang," kata dr Boenjamin PhD dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pencangkokan dengan menggunakan sel induk dewasa dari darah tali pusat ini memiliki tingkat kecocokan lebih tinggi dibandingkan sumsum tulang.
Metode pengambilan
Saat ini penggunaan darah tali pusat dalam terapi klinis lebih banyak digunakan untuk pasien kanker, yakni dengan transplantasi hematopoietic stem cells. Menurut Richard Prayogo dan Maria Teresa Wijaya dari Pusat Riset Kalbe Farma Jakarta, kini penggunaan darah tali pusat untuk terapi rejuvenasi bagi orang tua dengan tujuan meregenerasi organ tubuh yang menua tengah diteliti lebih lanjut.
Besarnya manfaat sel induk dari darah tali pusat itu membuat banyak perusahaan berskala internasional melayani pengambilan darah tali pusat saat bayi lahir, di antaranya Cordlife Singapura. Di Indonesia, untuk pertama kalinya bank darah tali pusat didirikan dan mulai beroperasi awal tahun depan atas kerja sama PT Kalbe Farma dan Cordlife. Biaya pengambilan sekitar 1.400 dollar Singapura dan biaya penyimpanan 250 dollar Singapura per tahun.
Pada praktiknya, metode pengambilan darah tali pusat adalah darah diambil segera setelah kelahiran dan setelah tali pusat diklem serta dipotong. Menurut penelitian, metode pengambilan darah tali pusat dengan menggunakan kantong darah lebih aman dari risiko pencemaran dibandingkan dengan metode lain seperti dengan metode jarum suntik.
Caranya, tali pusat dibersihkan dengan iodine dan jarum dari kantong darah ditusukkan ke vena tali pusat. Darah akan mengalir ke kantung darah. Proses ini tidak berisiko dan tidak menyakitkan ibu maupun bayi.
"Pencemaran bakteri dan jamur dapat terjadi pada saat proses pengambilan dan pemrosesan," tuturnya.
Pengujian darah tali pusat terhadap bakteri dan jamur sebelum dan sesudah diproses harus dilakukan untuk memastikan darah bebas dari pencemaran saat disimpan. Jika tercemar, darah tidak dapat digunakan saat diperlukan. Jadi, darah tali pusat harus tidak tercemar bakteri dan jamur, sedangkan darah sang ibu harus bebas dari virus HIV, hepatitis B dan hepatitis C, sifilis, dan cytomegalovirus.
Jika tercemar, pemberian antibiotik atau obat-obatan lain tidak dianjurkan karena butuh pencairan kembali darah tali pusat yang dibekukan sehingga menambah risiko terkontaminasi. Penggunaan antibiotik sebisa mungkin dihindari pada saat pemrosesan sel. Sampel darah yang terkontaminasi kemungkinan terdapat kuman-kuman lain yang sulit terdeteksi.
Darah berisiko terkontaminasi jika disimpan dalam tabung lantaran proses membuka dan menutup tabung berulang kali saat pemberian antibiotik. Pada proses pembekuan dan pencairan berulang kali, sel di dalam sampel darah ini akan teracuni dan mengurangi jumlah sel-sel hidup. Pergantian suhu udara berulang-ulang berisiko merusak struktur sel.
Kesempatan untuk menyimpan darah tali pusat bayi hanya pada saat kelahiran. Karena itu, kesempatan sekali dalam hidup untuk memberikan proteksi kepada anak dan keluarga kita itu sebaiknya tidak dilewatkan begitu saja. ***
Penulis: Evy Rachmawati
Sumber: KCM - Jumat, 17 November 2006 - 08:53 wib
Minggu, Februari 03, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar