Dulu dianggap penyebab autisme murni genetik dan tak bisa disembuhkan.
Ketika Iwan lahir, tak ada kelainan menyertainya. Namun, ketika Iwan berusia 18 bulan, ibunya, Santi,melihat perkembangan bicara dan bahasanya tidak menunjukkan kemajuan berarti dan ia tampak asyik dengan dirinya sendiri. "Seperti ada tameng yang membatasi Iwan dengan dunia kami," ujar Santi.
Kondisi ini berlanjut, meski tidak rewel, Iwan cenderung sulit dipegang, tak mau dipeluk, kontak matanya terbatas, pandangannya kerap menerawang, sering memasukkan benda ke mulut, dan tampak tertekan di tengah keramaian. Ketika memeriksakan anaknya ke dokter, Santi bukan main terkejut karena si bocah disebut menderita autisme.
Menurut dr Melly Budhiman, SpKJ, autisme adalah gangguan perkembangan kompleks yang gejalanya biasanya muncul sebelum anak berusia tiga tahun. Dan ini terlihat dalam gangguan komunikasi, interaksi, perilaku, emosi, dan sensoris. Anak autisme lazimnya susah bicara, tak mau menatap mata saat bicara, dan sering melakukan gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti mengepak-ngepak lengan atau mengetuk-ngetukkan sesuatu. Ada pula gangguan emosi, misalnya tak bisa dikontrol kalau sedang marah dan tertawa sendiri.
Adapun gangguan sensoris, kata Melly, sifatnya lebih berupa kepekaan yang terlalu tajam. Misalnya, kalau mendengar suara klakson mobil, dia akan mengerti karena pendengarannya terasa seperti ditusuk-tusuk atau saat melihat nyala lampu neon dia akan menangis. Autisme bukanlah penyakit. "Tidak ada virus, bakteri, kuman, atau jamur dalam tubuh penyandang autisme," ujar Melly dalam seminar "Autisme Update" yang digelar Yayasan Autisme Indonesia di Jakarta pekan lalu.
Menurut Melly, autisme bisa terjadi pada anak mana pun. Pasalnya, dulu diperkirakan penyebab autisme murni karena genetik dan dianggap tak bisa disembuhkan. Namun, kini dari berbagai penelitian ditemukan bahwa gen saja tidak cukup untuk memicu gejala autisme. Ada faktor pencetus dari luar untuk menimbulkan autisme.
Dokter spesialis kesehatan jiwa ini menjelaskan, faktor luar itu adalah lingkungan, seperti polusi udara, berupa timbel hitam atau paparan merkuri. Lingkungan inilah yang mempengaruhi gen yang sudah lemah tadi sehingga terjadi gangguan pada tubuh dan otak, yang berujung pada timbulnya gangguan perilaku. "Misalnya ayah-ibunya punya alergi atau sama-sama pengidap asma, maka anak pasangan ini berisiko menjadi autisme karena sudah mewarisi gen yang lemah ditambah buruknya kualitas lingkungan," Melly memaparkan.
Tanda-tanda autisme pada anak sebelumnya muncul tatkala anak masih bayi, yakni 2-3 bulan. Misalnya sang bocah menghindari tatapan mata ibunya. Namun, berdasarkan kecenderungan yang muncul akhir-akhir ini, banyak anak lahir dan berkembang secara normal. Namun, ketika berumur 12-24 bulan, perkembangannya tiba-tiba terhenti dan terjadi kemunduran, yang kemudian muncullah gejala autisme.
Peningkatan anak dengan gangguan autisme sangat dramatis. Saat ini, di Amerika Serikat, rasio anak penyandang autisme 1 : 150. Padahal 14 tahun sebelumnya rasio anak penyandang autisme hanya 1 : 10.000. Kenyataan tingginya penderita autisme membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi Nomor 62/139 pada 18 Desember 2007 yang menetapkan 2 April sebagai Hari Peduli Autisme Sedunia. Di Indonesia, walaupun belum ada data statistik, jumlah pasien penyandang autisme yang ditangani dokter ataupun psikolog meningkat. "Dulu, pada 1980-an, dalam setahun saya hanya mendapat 3-4 pasien autisme. Sekarang dalam sehari saya bisa punya tiga atau empat pasien baru," ujar Melly.
Dokter yang juga Ketua Yayasan Autisma Indonesia ini mengungkapkan sebenarnya, dengan terapi yang baik, anak autisme bisa "sembuh". Artinya mereka mampu berbaur, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya seperti orang normal. "Mereka bisa sembuh artinya kalau ada orang melihat, orang tidak akan tahu kalau dia dulu anak autisme," ia mengungkapkan. Dan biasanya, jika anak autisme sudah sembuh, ia tidak akan kembali menjadi autisme. Walau terkadang mereka mengalami stres, gejala autismenya bisa keluar, seperti berteriak-teriak, menangis, atau mengepak-ngepakkan tangannya, "Tapi gejala autismenya nggak full timbulnya. Begitu stresnya hilang, biasanya mereka akan normal kembali," ucap Melly. Bila anak autisme tidak diterapi, ketika dewasa, ia akan tumbuh seperti pasien sakit jiwa.Marlina Marianna Siahaan
Ciri Sejak Lahir
1. Bayi sangat anteng atau sangat rewel, terutama pada malam hari.
2. Lebih suka bermain sendiri daripada digendong/diajak main.
3. Tidak responsif terhadap suara ibu.
4. Tidak berusaha mencari ibu.
5. Tidak berupaya menatap mata lawan.
6. Sering kali menolak bila didekap/dibelai.
Terapi Baru Autisme
1. Terapi hyperbaric oxygen merupakan pola baru dalam menangani anak autisme.
2. Di Amerika, anak autisme diperiksa dengan cara dimasukkan zat radioaktif ke tubuhnya. Setelah itu, ketika dipindai, terlihat sel-sel otak anak autisme pucat dengan fungsi kurang bagus.
3. Baru kemudian si anak mendapat terapi anyar yang membuatnya harus masuk ke sebuah tabung yang dialiri oksigen. Oksigen ini akan didorong masuk ke pori-pori yang selanjutnya masuk ke sel-sel otak.
4. Setelah mendapat oksigen, terbukti sel otak bekerja lebih bagus. Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan anak yang jauh lebih positif.
5. Namun, terapi itu belum terbukti sebagai terapi yang terbaik. Yang pasti, terapi ini dapat dibuktikan secara ilmiah.
6. Selain itu, ada terapi lumba-lumba. Yang ini juga ada teorinya, yakni lengkingan lumba-lumba bisa menembus tengkorak kita dan memperbaiki gelombang abnormal menjadi normal, tapi belum pernah dibuktikan secara kedokteran karena belum ada yang meneliti.
Sumber : Koran Tempo
Kamis, September 04, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar