Senin, Juni 22, 2009

Buku Harian Ayah

Ayah dan ibu telah menikah lebih dari 30 tahun, saya sama sekali tidak pernah melihat mereka bertengkar.
Di dalam hati saya, perkawinan ayah dan ibu ini selalu menjadi teladan bagi saya, juga selalu berusaha keras agar diri saya bisa menjadi seorang pria yang baik, seorang suami yang baik seperti ayah saya. Namun harapan tinggallah harapan, sementara penerapannya sangatlah sulit. Tak lama setelah menikah, saya dan istri mulai sering bertengkar hanya akibat hal - hal kecil, dalam rumah tangga.

Malam minggu pulang ke kampung halaman, saya tidak kuasa menahan diri hingga
menuturkan segala keluhan tersebut pada ayah.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ayah mendengarkan segala keluhan saya, dan setelah beliau berdiri dan masuk ke dalam rumah.
Tak lama kemudian, ayah mengusung keluar belasan buku catatan dan ditumpuknya begitu saja di hadapan saya.
Sebagian besar buku tersebut halamannya telah menguning, kelihatannya buku? buku tersebut telah disimpan selama puluhantahun.
Ayah saya tidak banyak mengenyam pendidikan, apa bisa beliau menulis buku harian? Dengan penuh rasa ingin tahu saya mengambil salah satu dari buku-buku itu. Tulisannya memang adalah tulisan tangan ayah, agak miring dan sangat aneh sekali, ada yang sangat jelas, ada juga yang semrawut, bahkan ada yang tulisannya sampai menembus beberapa halaman kertas. Saya segera tertarik dengan hal tersebut, mulailah saya baca dengan seksama halaman demi halaman isi buku itu.

Semuanya merupaka catatan hal-hal sepele, "Suhu udara mulai berubah menjadi dingin, ia sudah mulai merajut baju wol untuk saya."
"Anak - anak terlalu berisik, untung ada dia."
Sedikit demi sedikit tercatat, semua itu adalah catatan mengenai berbagai macam kebaikan dan cinta ibu kepada ayah, mengenai cinta ibu terhadap anak-anak dan terhadap keluarga ini. Dalam sekejap saya sudah membaca habis beberapa buku, arus hangat mengalir di dalam hati saya, mata saya berlinang air mata.
Saya mengangkat kepala, dengan penuh rasa haru saya berkata pada ayah "Ayah, saya sangat mengagumi ayah dan ibu."
Ayah menggelengkan kepalanyadan berkata, "Tidak perlu kagum, kamu juga,bisa."

Ayah berkata lagi, "Menjadi suami istri selama puluhan tahun lamanya, tidakmungkin sama sekali tidak terjadi pertengkaran dan benturan?
Intinya adalah harus bisa belajar untuk saling pengertian dan toleran. “Setiap orang memiliki masa emosional, ibumu terkadang kalau sedang kesal, juga suka mencari gara - gara, melampiaskan kemarahannya pada ayah, mengomel. Waktu itu ayah bersembunyi di depan rumah, di dalam buku catatan ayah tuliskan segala hal yang telah ibumu lakukan demi rumah tangga ini. Sering kali dalam hati ayah penuh dengan amarah waktu menulis kertasnya dan sampai sobek akibat tembus oleh pena. Tapi ayah masih saja terus menulis satu demi satu kebaikannya, ayah renungkan bolak balik dan akhirnya emosinya juga tidak ada lagi, yang tinggal semuanya adalah kebaikan dari ibumu."

Dengan terpesona saya mendengarkannya.. Lalu saya bertanya pada ayah, "Ayah, apakah ibuku pernah melihat catatan-catatan ini?"
Ayah hanya tertawa dan berk ata, "Ibumu juga memiliki buku catatan. Dalam buku catatannya itu semua isinya adalah tentang kebaikan diriku. Kadang kala dimalam hari,menjelang tidur, kami saling bertukar buku catatan, dan saling menertawakan pihak lain. ha. ha. ha."
Memandang wajah ayah yang dipenuhi senyuman dan setumpuk buku catatan yang berada di atas meja, tiba - tiba saya sadar akan rahasia dari suatu pernikahan :

"Cinta itu sebenarnya sangat sederhana, ingat dan catat kebaikan dari pasangan. Lupakan segala kesalahan dari pihak lain."

1 komentar:

panduan menulis buku mengatakan...

Saya yakin bahawa idea anda akan dapat disampaikan dalam bentuk buku yang mendatangkan hasil kewangan dan kesan positif lain kepada anda, keluarga, dan negara. Anda harus yakin terhadap diri, dan mulalah menulis. Menulis ialah langkah pertama ke dunia keseronokan dan kepuasan yang yang pasti ingin anda nikmati.