Rabu, April 15, 2009

Kotor Itu Baik, Biarkan Anak Makan Tanah

Rabu, 04 Februari 2009 | 18:06 WIB

TEMPO Interaktif, New York: Bermain tanah memang tidak higienis, apalagi memakannya. Tak ada ibu yang akan membiarkan anaknya memakan tanah. Mereka takut anaknya cacingan. Padahal bakteri dan virus, terutama cacing yang terdapat dalam tanah, ternyata bagus bagi kesehatan si bayi.

Dalam sebuah studi yang dinamai hygiene hypothesis sejumlah ilmuwan menyimpulkan bahwa organisme seperti jutaan bakteri, virus, dan cacing yang memasuki tubuh bersama dengan tanah memacu perkembangan sistem imun yang sehat. Sejumlah studi menemukan bukti bahwa cacing dapat membantu memulihkan kembali sistem kekebalan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, misalnya kelainan autoimmune, alergi, dan asma.

Bila digabungkan dengan observasi epidemiologis, maka studi tersebut dapat menjelaskan bagaimana kelainan sistem kekebalan tubuh seperti multiple sclerosis, diabetes tipe 1, penyakit radang usus, asma, dan alergi meningkat pesat, baik di negara-negara maju maupun berkembang.

Hipotesis itu menjelaskan mengapa bayi memiliki perilaku instingtif untuk memasukkan segala sesuatu yang ditemukannya ke dalam mulut. Tanpa disadari, perilaku itu melatih sistem kekebalan tubuhnya. "Apa yang dilakukan seorang bocah ketika menaruh segala sesuatu ke dalam mulutnya adalah membiarkan respons kekebalan tubuhnya mengeksplorasi lingkungan sekitar," tutur Mary Ruebush, pengajar mikrobiologi dan imunologi di Washington, Wyoming, Alaska, Montana, dan Idaho Rural Health Research Center and Medical School.

Penulis buku Why Dirt Is Good itu menuturkan bahwa perilaku yang sering dianggap jorok oleh orang tua tadi sangat berguna bagi kesehatan si anak kelak di kemudian hari. "Tidak hanya melatih daya tanggap kekebalan tubuhnya yang amat penting untuk perlindungan, tapi juga memainkan peran penting dalam "mengajar" sistem imunnya yang masih belia itu tentang apa yang sebaiknya tak perlu dihiraukan," ujar Mary.

Joel V. Weinstock, direktur gastroenterologi dan hepatologi di Tufts Medical Center, Boston, menyatakan bahwa sistem imun pada saat lahir tak ubahnya sebuah komputer yang belum diprogram. "Dia memerlukan instruksi," kata Weinstock.

Pakar kesehatan terkemuka itu mengatakan tindakan kesehatan publik seperti membersihkan makanan dan air yang terkontaminasi memang telah menyelamatkan nyawa jutaan anak-anak. "Tapi mereka juga mengeliminasi paparan banyak organisme yang kemungkinan bermanfaat bagi kita," katanya. "Anak-anak dibesarkan dalam lingkungan yang sangat bersih. tidak terpapar pada organisme yang membantu mereka mengembangkan sirkuit regulator imunitas yang tepat."

Hasil studi yang dilakukan oleh Weinstock bersama David Elliott, seorang gastroenterologis dan imunologis di University of Iowa, telah menunjukkan bahwa cacing usus--kini tak ditemui lagi di negara maju--tampaknya memainkan peran utama dalam mengatur sistem imun untuk memberi respons sepantasnya. "Infeksi bakteri dan virus kelihatannya mempengaruhi sistem imun dengan cara yang sama, tapi tidak sekuat itu," kata Elliott.

Sebagian besar cacing tidak berbahaya, terutama bagi orang bergizi baik. "Hanya sedikit penyakit yang disebabkan cacing," kata Weinstock. "Manusia telah beradaptasi dengan kehadiran sebagian besar cacing."

Dalam studi yang dilakukan terhadap tikus, Weinstock dan Elliott menggunakan cacing untuk mencegah dan memulihkan penyakit autoimmune. Menurut Elliott, para ilmuwan di Argentina menemukan bukti bahwa pasien multiple sclerosis yang pernah terinfeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura) menunjukkan kasus lebih ringan dan lebih jarang terkena serangan dalam periode 4,6 tahun.

Di University of Wisconsin, Madison, Dr John Fleming, seorang neurologis juga menguji apakah cacing cambuk babi (Trichuris Sus Ova) dapat melunakkan efek multiple sclerosis penyakit susunan saraf pusat.

Di Gambia, penghapusan cacing di sejumlah desa menyebabkan peningkatan reaksi alergi kulit pada anak-anak. Cacing cambuk babi, yang hanya sebentar berada dalam saluran usus manusia, ternyata mempunyai efek baik dalam mengobati penyakit radang usus, penyakit Crohn, dan ulcerative colitis atau radang usus besar," kata Elliott.

Kenyataan bahwa cacing dapat membantu meningkatkan sistem imun memang agak sulit diterima akal sehat. Tapi hal itu dapat dijelaskan dalam hipotesis higien. Saat ini, kata Elliott, regulasi imun jauh lebih rumit daripada yang diduga para ilmuwan ketika hipotesis higien pertama kali diperkenalkan oleh seorang epidemiologis Inggris, David P. Strachan, pada 1989. Strachan mencatat adanya asosiasi antara ukuran besar keluarga dan menurunnya tingkat asma dan alergi.

Para ahli imunologi kini mengetahui empat poin sistem respons yang membantu sel T, jenis sel darah yang melindungi tubuh dari infeksi, yaitu Th 1, Th 2, Th 17, dan sel T regulator. Th 1 akan menghalangi Th 2 dan Th 17, sedangkan Th 2 menghalangi Th 1 dan Th 17. Sel T regulator akan menghalangi ketiga Th lainnya.

"Banyak penyakit radang, seperti multiple sclerosis, Crohn, ulcerative colitis dan asma, terjadi karena aktivitas Th 17," kata Elliott. "Jika Anda menginfeksi tikus dengan cacing, Th 17 akan merosot tajam, dan aktivitas sel T regulator meningkat."

Meski studinya menunjukkan bahwa cacing baik bagi kesehatan, Elliott tak lantas menganjurkan orang untuk kembali ke lingkungan yang penuh kuman di masa 1850-an. "Jika kami mengerti bagaimana organisme di lingkungan sekitar melindungi kita, barangkali kami bisa membuat vaksin atau meniru efeknya dengan stimulus yang tak berbahaya," ujarnya.

TJANDRA DEWI | NYTIMES

http://tempointerak tif.com/hg/ sains/2009/ 02/04/brk, 20090204- 158460,id. html

Tidak ada komentar: